KERANGKA TEORI
A.
Pengertian
Tindak Pidana dan Tindak Pidana Penganiayaan
1.
Pengertian
Tindak Pidana
Tindak pidana hanyalah salah satu terjemahan dari
istilah dalam bahasa belanda yaitu strafbaarfeit.
Sebetulnya istilah tersebut bersifat eliptis (kependekan dari) sebagian kalimat
yang dihilangkan. Kalimat sesungguhnya adalah feit tarzaake van het welke een person stafbaar is (perbuatan oleh
karena mana seseorang dapat dipidana). Dengan demikian, berdasarkan pengertian strafbaafeit diatas maka para pakar
hukum pidana menerjemahkan strafbaafeit
itu berbeda-beda, ada yang menerjemahkan sebagai peristiwa pidana, perbuatan
pidana, perbuatan boleh dihukum, dan ada juga dengan singkatan menyebutnya
sebagai delik.
23
|
Menurut
Moeljatno,[1]
memakai istilah perbuatan pidana, yaitu perbuatan yang dilarang oleh aturan
hukum, larangan mana yang disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu
bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut.
Menurut Roeslan Saleh,[2]
menggunakan istilah perbuatan pidana yaitu perbuatan yang oleh aturan pidana
dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang, dinamakan perbuatan pidana, juga
disebut orang dengan delik.
Menurut Van
Bemmelen,[3]
juga memakai istilah perbuatan pidana dengan penjelasan sebagai berikut :
Perbuatan
pidana adalah suatu perbuatan tertentu, yang dilarang dan diancam dengan
pidana, tidak hanya membuat suatu petunjuk tingkahlaku yang dilarang (tindak
delik yang sebenarnya), akan tetapi sekaligus biasanya juga beberapa keadaan
dalam mana tingkahlaku harus dilarang.
Menurut
Wirjono Prodjodikoro,[4]
menggunakan istilah Tindak Pidana yang diartikan sebagain suatu perbuatan yang
pelakunya dapat dikenakan hukuman atau pidana. Pelaku ini dapat dikatakan
merupakan subyek Tindak Pidana.
Menurut Vos,[5]
memakai istilah peristiwa pidana yang diartikan sebagai peristiwa yang
menyatakan dapat dipidana oleh undang-undang, pemakaian peristiwa pidana juga
digunakan oleh Simons (Zamhari Abidin)
adalah perbuatan salah dan melawan hukum yang diancam dengab pidana yang
dilakukan oleh seseorang yang mampu bertanggungjawab.
Menurut Tim Penerjemahan Badan Pembinaan Hukum
Nasiona (BPHN) Departemen Kehakiman
memberi penjelasan mengiringi diterbitkannya Terjemahan W.v.S (KUHP), dengan
mengemukakan delapan langkah kebijakan, tiga diantaranya dikutip sebagai
berikut :
a. Istilah
Tindak Pidana telah dipakai sebagai terjemahan dari istilah Strafbaarfeit. Penggunaan istilah tindak
pidana dipakai oleh karena jika ditinjau dari segi sosis-yuridis, hampir semua
perundang-undangan pidana memakai istilah Tindak Pidana.
b. Semua
instansi penegak hukum dan hampir seluruh penegak hukum mempergunakan istilah
tindak pidana.
c. Meskipun
diperlukan istilah tindak pidana, secara teoristis itu tidak berarti tindak
pidana (actus reus) harus dibedakan dan dipisahkan dari pertanggungjawaban
pidana (mens rea).
Rumusan konsep (rancangan) KUHP baru edisi maret
1993 telah menyeragamkan istilah tindak pidana, sebagaimana dinyatakan dalam
pasal 14 konsep rancangan KUHP baru bahwa tindak pidana adalah perbuatan
melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang oleh peraturan perundang-undangan
dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana.
Rancangan konsep KUHP baru merumuskan 2 (dua) bentuk
tindakan yang diklasifikasikan sebagai tindak pidana, yaitu:
a. Perbuatan
aktif (active action) atau tindakan/perbuatan berbuat adalah tindakan konkrit,
langsung dan dan bisa diukur. Contoh tindakan menikam dengan pisau ke perut
orang lain dan lain-lain.
b. Perbuatan
pasif (passive action) atau perbuatan tidak melakukan, tindakan pasif, ialah
tindakan yang tidak langsung, dan tidak melakukan sesuatu pekerjaan apapun
tetapi dikategorikan sudah melakukan tindak pidana. Contoh tidak memenuhi
panggilan pengadilan sebagai saksi (Pasal 224 KUHP).
Pasal 15 rancangan konsep KUHP baru menerangkan
perbuatan dimaksud dalam Pasal 14 konsep KUHP baru, yaitu perbuatan yang
dituduh haruslah perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana oleh
peraturan perundang-undangan. Perbuatan yang dituduh dapat dipidana, haruslah
bertentangn dengan hukum.
Sebetulnya penggunaan istilah stafbaarfeit masih merupakan polemik hukum bagi para pakar hukum
pidana. Misalnya Van Hamel (dalam Zainal Abidin) bahwa strafbaarfeit adalah istilah yang kurang
tepat, melainkan starfwaardigfeit,
atau peristiwa yang bernilai atau patut dipidana. Menurut Van Hamel perbuatan
(dader) yang dapat dipidana, dan bukan peristiwa yang dilakukan.
Perbedaan
kedua jenis peristilahan itu, menyebabkan muncul pandangan monistis dan
dualistik tentang delik. Pandangan monitis memandang tindak pidana adalah satu
kesatuan dengan pertanggungjawaban pidana (ajaran kesalahan), jadi bersifat
integral. Pandangan dualistik memandang bahwa tindak pidana dan
pertanggungjawaban pidana harus dipandang terpisah tidak bisa disatukan.
Perkembangan baru muncul pandangan mono-dualistik (daad-dader strafrecht).
Seseorang yang sudah melakukan tindak pidana belum tentu langsung dapat
dipidana, melainkan terhadapnya harus dimintakan pertanggungjawabkan pidana
untuk menentukan ada tidaknya kesalahan dalam melakukan suatu tindak pidana.[6]
Jenis-Jenis
Tindak Pidana yaitu:
a.
Kejahatan
dan Pelangaran
Pembagian
perbuatan pidana atas kejahatan dan pelanggaran ini disebut oleh undang-undang.
KUHP buku ke II memuat delik yang disebut pelanggaran tetapi kritiria apakah
yang digunakan untuk membedakan kedua jenis delik itu, namun KUHP tidak
menjelaskannya. Ia hanya memasukkan kedalam kelompok pertama kejahatan dan
dalam kelompok kedua pelanggaran.
Ada dua pendapat yang mencoba menemukan perbedaan sekaligus
kritiria antara pelanggaran dan kejahatan, yaitu:
Pendapat
pertama menyatakan, antara kedua jenis delik ada perbedaan yang bersifat
kualitataif. Dengan ukuran ini, didapati 2 jenis delik, yaitu:
1. Rechtdelicten
yaitu perbuatan yang bertentangan dengan keadailan, terlepas apakah perbuatan
itu diancam pidana dalam suatu undang-undang atau tidak. Jadi yang benar-benar
dirasakan masyarakat sanagat bertentangan dengan keadilan misalnya: pembunuhan,
pencurian. Delik-delik semacam ini disebut “kejahatan”.
2. Westdelicten
yaitu perbuatan yang oleh umum baru disadari sebagai tindak pidana karena
undang-undang menyebutnya sebagai delik. Jadi karena ada undang-undang, maka
mengancamnya dengan pidana. Misalnya : memarkir mobil disebalah kanan jalan.
Delik-delik semacam ini disebut “pelanggaran”.
Pendapat kedua
mengatakan, bahwa antara kedua jenis
delik itu ada perbedaan yang besifat kuantitatif. Pendirian ini hanya
meletakkan kriterium pada perbedaan yang dilihat dari segi kriminilogi, dimana
“pelanggaran” lebih ringan daripada “kejahatan”.
b.
Delik
Formil dan Delik Materiil
1. Delik
formil adalah delik yang perumusannya dititikberatkan kepada perbuatan yang
dilarang. Delik tersebut telah selesai dengan dilakukannya perbuatan seperti
tercantum dalam rumusan delik.
2. Delik
materiil adalah delik yang perumusannya dititikberatkan kepada akibat yang
tidak dikehendaki (dilarang). Delik ini baru selesai apabila akibat yang tidak
dikehendaki itu telah terjadi. Kalau belum maka paling banyak hanya ada
percobaan.
c.
Delik
Commisionis, Delik Ommisionis dan Delik Commisionis Per Ommisionen Commissa.
1. Delik
commisionis adalah delik yang berupa pelanggaran terhadap larangan, yaitu
berbuat sesuatu yang dilarang. Pencurian, penggelapan, penipuan.
2. Delik
ommisionis adalah delik yang berupa pelanggaran terhadap perintah, yaitu tidak
melakukan sesuatu yang diperintahkan/yang diharuskan, misalnya : tidak
menghadap sebagai saksi dimuka pengadilan (Pasal 522 KUHP),
3. Delik
commisionis per ommisionen commissa adalah delik yang berupa pelanggaran
larangan (dus delik commisionis), akan tetapi dapat dilakukan dengan cara tidak
berbuat. Misalnya : seorang ibu yang membunuh anaknya dengan tidak memberi air
susu (Pasal 338, 340 KUHP).
d.
Delik
Dolus dan Delik Culpa
1. Delik
dolus adalah delik yang memuat unsur kesenganjaan, misalnya: barangsiapa dengan
sengaja menimbulkan kebakaran, ledakan atau banjir (Pasal 187 KUHP), pemalsuan
uang dan uang kertas (Pasal 245 KUHP), pemalsuan surat (Pasal 263 KUHP), penghinaan
(Pasal 310 KUHP), dengan sengaja merampas nyawa orang lain atau pembunuhan
(Pasal 338 KUHP).
2. Delik
culpa adalah delik yang memuat kealpaan sebagai salah satu unsur misalnya: kejahatan
yang membahayakan keamanan umum bagi orang atau barang (Pasal 197 KUHP),
menyebabkan gedung atau bangunan dihancurkan atau dirusak (Pasal 201
KUHP), 231, menyebabkan matinya orang
karena kealpaan (Pasal 359 KUHP),
menyebabkan orang lain mendapat luka-luka berat karena kealpaan (Pasal 360 KUHP).
e.
Delik
Tunggal dan Delik Berangkai
1. Delik
tunggal adalah delik yang cukup dilakukan dengan perbuatan satu kali.
2. Delik
berangkai adalah delik yang baru merupakan delik, apabila dilakukan beberapa
kali perbuatan, misalnya : Pasal 481 (Penadahan Sebagai Kebiasaan).
f.
Delik
Yang Berlangsung Terus Dan Delik Selesai
1. Delik
yang berlangsung terus adalah delik yang mempunyai ciri bahwa keadaan terlarang
itu berlangsung terus, misalnya: merampas kemerdekaan seseorang (Pasal 333
KUHP)
2. Delik
selesai adalah delik dengan tidak lebih dari suatu perbuatan yang mencakup malakukan,
melainkan atau menimbulakan akibat tertentu seperti menghasut, membunuh,
membakar dan sebagainya.
g.
Delik
Aduan Dan Delik Laporan
1. Delik
aduan adalah delik yang penuntutannya hanya dilakukan apabila ada pengaduan
dari pihak yang terkena galaedeerde partij
missal: penghinaan (Pasal 310 dst. Jo Pasal 319 KUHP), perzinaan (Pasal 284
KUHP). Delik aduan dibedakan menurut sifatnya, sebagai:
a. Delik
aduan absolut, misalnya Pasal 284, 310, 332 KUHP. Delik-delik ini menurut
sifatnya hanya dapat dituntun berdasarkan pengaduan.
b. Delik
aduan relative, misalnya Pasal 367 KUHP, disebut relative karena dalam
delik-delik ini ada hubungan istimewa antara si pembuat dan orang yang terkena.
Catatan: Perlu dibedakan antara aduan, gugatan dan
laporan. Gugatan dipakai dalam acara perdata, misalnya A menggugat B di muka
pengadilan karena B tidak membayar hutangnya kepada A. laporan hanya
pemberitahuaan belaka tentang adanya sesuatu tindak pidana kepada polisi atau
atau jaksa.
h.
Delik
Sederhana Dan Delik Yang Ada Pemberatannya/ Peringanannya.
Delik
yang ada pemberatannya, misalnya: penganiayaan yang menyebabkan luka berat atau
matinya orang (Pasal 351 Ayat 2, 3 KUHP). Delik yang ancaman pidananya
diperingan karena dilakukan dalam keadaan tertentu, misalnya: Pembunuhan
terhadap anak-anak (Pasal 341 KUHP). Delik ini disebut “geprivelegegeerd
delict”. Delik sederhana: Misalnya: penganiayaan (Pasal 351 KUHP), pencurian
(Pasal 362 KUHP).
Unsur-unsur
tindak pidana dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu :
a. Unsur obyektif adalah
Perbuatan orang, akibat yang kelihatan dari perbuatan itu atau mungkin keadaan
tertentu yang menyertai perbuatan.
2. Pengertian Tindak Pidana Penganiayaan
Secara umum, tindak pidana terhadap tubuh pada KUHP
disebut “penganiayaan”. Dibentuknya pengaturan tentang kejahatan terhadap tubuh
manusia ini dutujukan bagi perlindungan
kepentingan hukum atas tubuh dari perbuatan-perbuatan berupa penyerangan atas tubuh atau bagian dari tubuh yang
mengakibatkan rasa sakit atau luka, bahkan karena luka yang sedemikian rupa
pada tubuh dapat menimbulkan kematian.
Penganiayaan dalam kamus besar bahasa Indonesia
dimuat arti sebagai berikut “perilaku yang sewenang-wenang”. Pengertian
tersebut adanya pengertian dalam arti luas, yakni termasuk yang menyangkut
“perasaan” atau “batiniah”.
Menurut
yurisprudensi, maka yang diartikan dengan penganiayaan yaitu sengaja
menyebabkan perasaan tidak enak, rasa sakit atau luka. Masuk pula dalam
pengertian penganiayaan ialah “sengaja merusak kesehatan orang”. “perasaan
tidak enak” misalnya mendorong orang terjun ke kali sehingga basah kuyup. “rasa
sakit” misalnya menyubit, mendupak, memukul. “luka” misalnya mengiris,
memotong, menusuk dengan pisau. “merusak kesehatan” misalnya orang sedang tidur
dan berkeringat dibuka jendela kamarnya sehingga orang itu pasti masuk angin.
B.
Jenis
Tindak Pidana Penganiayaan Dalam KUHP
1. Tindak Pidana Penganiayaan Biasa
Penganiayaan biasa yang dapat juga disebut dengan
penganiayaan pokok atau bentuk standar terhadap ketentuan Pasal 351 yaitu pada
hakikatnya semua penganiayaan yang bukan penganiayaan berat dan bukan
penganiayaan ringan.
Mengamati
Pasal 351 KUHP maka ada 4 (empat) jenis penganiayaan biasa, yakni:
a) Penganiayaan
biasa yang tidak dapat menimbulkan luka berat maupun kematian dan dihukum
dengan dengan hukuman penjara selama-lamanya dua tahun delapan bulan atau denda
sebayak-banyaknya tiga ratus rupiah. (ayat 1)
b) Penganiayaan
yang mengakibatkan luka berat dan dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya
5 tahun (ayat 2)
c) Penganiayaan
yang mengakibatkan kematian dan dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya 7
tahun (ayat 3)
d) Penganiayaan
berupa sengaja merusak kesehatan (ayat 4)
Unsur-unsur penganiayaan biasa, yakni:
a) Adanya
kesengajaan
b) Adanya
perbuatan
c) Adanya
akibat perbuatan (yang dituju), rasa sakit pada tubuh, dan atau luka pada
tubuh.
d) Akibat
yang menjadi tujuan satu-satunya
2.
Tindak
Pidana Penganiayaan Ringan
Hal ini diatur dalam Pasal 352 KUHP. Menurut Pasal ini,
penganiayaan ringan ini ada dan diancam dengan maksimum hukuman penjara tiga
bulan atau denda tiga ratus rupiah apabila tidak masuk dalam rumusan Pasal 353 dan
356, dan tidak menyebabkan sakit atau halangan untuk menjalankan jabatan atau
pekerjaan. Hukuman ini bias ditambah dengan sepertiga bagi orang yang melakukan
penganiayaan ringan ini terhadap orang yang bekerja padanya atau yang ada
dibawah perintah.
Penganiayaan tersebut dalam Pasal 352 (1) KUHP yaitu
suatu penganiayaan yang tidak menjadikan sakit atau menjadikan terhalang untuk
melakukan jabatan atau pekerjaan sehari-hari.
Unsur-unsur
penganiayaan ringan, yakni:
a) Bukan
berupa penganiayaan biasa
b) Bukan
penganiayaan yang dilakukan
1. Terhadap
bapak atau ibu yang sah, istri atau anaknya
2. Terhadap
pegawai negri yang sedang dan atau karena menjalankan tugasanya yang sah
3. Dengan
memasukkan bahan berbahaya bagi nyawa atau kesehatan untuk dimakan atau diminum
c) Tidak
menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan dan
pencaharian
3.
Tindak
Pidana Penganiayaan Berencana
Menurut
Mr.M.H Tirtaadmidjaja,[8]
mengutarakan arti direncanakan lebih dahulu yaitu bahwa ada suatu jangka waktu
betapapun pendeknya untuk mempertimbangkan dan memikirkan dengan tenang”.
Untuk perencanaan ini, tidak perlu ada tenggang
waktu lama antara waktu merencanakan dan waktu melakukan perbuatan penganiayaan
berat atau pembunuhan. Sebaliknya meskipun ada tenggang waktu itu yang tidak
begitu pendek, belum tentu dapat dikatakan ada rencana lebih dahulu secara
tenang. Ini semua bergantung kepada keadaan konkrit dari setiap peristiwa.
Menurut
Pasal 353 KUHP ada 3 macam penganiayanan berencana , yaitu:
a) Penganiayaan
berencana yang tidak berakibat luka berat atau kematian dan dihukum dengan
hukuman penjara selama-lamanya 4 (empat) tahun.
b) Penganiayaan
berencana yang berakibat luka berat dan dihukum denhan hukuman selama-lamanya 7
(tujuh) tahun.
c) Penganiayaan
berencana yang berakibat kematian dan
dihukum dengan hukuman selama-lamanya 9 (Sembilan) tahun.
Unsur penganiayaan berencana adalah direncanakan
terlebih dahulu sebelum perbuatan dilakukan. Penganiayaan dapat
dikualifikasikan menjadi penganiayaan berencana jika memenuhi syarat-syarat:
a) Pengambilan
keputusan untuk berbuat suatu kehendak dilakukan dalam suasana batin yang
tenang.
b) Sejak
timbulnya kehendak/pengambilan keputusan untuk berbuat sampai dengan
pelaksanaan perbuatan ada tenggang waktu yang cukup sehingga dapat digunakan
olehnya untuk berpikir, antara lain:
1. Resiko
apa yang akan ditanggung.
2. Bagaimana
cara dan dengan alat apa serta bila mana saat yang tepat untuk melaksanakannya.
3. Bagaimana
cara menghilangkan jejak.
c) Dalam
melaksanakan perbuatan yang telah diputuskan dilakukan dengan suasana hati yang
tenang.
4. Tindak Pidana Penganiayaan Berat
Tindak pidana ini diatur dalam Pasal 354 KUHP.
Perbuatan berat atau dapat disebut juga menjadikan berat pada tubuh orang lain.
Haruslah dilakukan dengan sengaja oleh orang yang menganiayanya.
Unsur-unsur
penganiayaan berat, antara lain: Kesalahan (kesengajaan), Perbuatannya (melukai
secara berat), Obyeknya (tubuh orang lain), Akibatnya (luka berat)
Apabila dihubungkan dengan unsur kesengajaan maka
kesengajaan ini harus sekaligus ditujukan baik terhadap perbuatannya, (misalnya
menusuk dengan pisau), maupun terhadap akibatnya yakni luka berat.
Istilah luka berat menurut Pasal 90 KUHP berarti
sebagai berikut:
a) Penyakit
atau luka yang tidak dapat diharapkan akan sembuh dengan sempurna atau yang
menimbulkan bahaya maut.
b) Menjadi
senantiasa tidak cakap mengerjakan pekerjaan jabatan atau pencaharian.
c) Kehilangan
kemampuan memakai salah satu dari panca indra.
d) Kekudung-kudungan
e) Gangguan
daya pikir selama lebih dari empat minggu.
f) Pengguguran
kehamilan atau kematian anak yang masih ada dalam kandungan.
Penganiayaan
berat ada 2 (dua) bentuk, yaitu:
a) Penganiayaan
berat biasa (ayat 1)
b) Penganiayaan
berat yang menimbulkan kematian (ayat 2)
5. Tindak Pidana Penganiayaan Berat
Berencana
Tindak
Pidana ini diatur oleh Pasal 355 KUHP. Kejahatan ini merupakan gabungan antara
penganiayaan berat (Pasal 353 ayat 1) dan penganiayaan berencana (Pasal 353
ayat 2). Kedua bentuk penganiayaan ini harus terjadi secara serentak/bersama.
Oleh karena itu harus terpenuhi unsur penganiayaan berat maupun unsur
penganiayaan berencana. Kematian dalam penganiayaan berat berat berencana
bukanlah menjadi tujuan. Dalam hal akibat, kesenganjaannya ditujukan pada
akibat luka beratnya saja dan tidak pada kematian korban. Sebab, jika
kesenganjaan terhadap matinya korban, maka disebut pembunuhan berencana. [9]
[1]Basir Rohrohmana, Tindak
Pidana, Unsur Tindak Pidana, Pidana dan Pemidanaan, Fakutas Hukum
Universitas Cenderawasih, Jayapura, 2001, h.10
[7]Ismu Gunadi, Jonaedi Efendi dan
Fifit Fitri Lutfianingsih, Cepat & Mudah Memahami Hukum Pidana (Jilid 1),
Jakarta, 2011, hal. 50-54.
[8]Ismu Gunadi, Jonaedi Efendi dan
Fifit Fitri Lutfianingsih, Cepat & Mudah Memahami Hukum Pidana (Jilid 2),
Jakarta, 2011, hal. 6