Selasa, 03 Juli 2012


BAB II
KERANGKA TEORI

A.    Pengertian Tindak Pidana dan Tindak Pidana Penganiayaan
1.      Pengertian Tindak Pidana
Tindak pidana hanyalah salah satu terjemahan dari istilah dalam bahasa belanda yaitu strafbaarfeit. Sebetulnya istilah tersebut bersifat eliptis (kependekan dari) sebagian kalimat yang dihilangkan. Kalimat sesungguhnya adalah feit tarzaake van het welke een person stafbaar is (perbuatan oleh karena mana seseorang dapat dipidana). Dengan demikian, berdasarkan pengertian strafbaafeit diatas maka para pakar hukum pidana menerjemahkan strafbaafeit itu berbeda-beda, ada yang menerjemahkan sebagai peristiwa pidana, perbuatan pidana, perbuatan boleh dihukum, dan ada juga dengan singkatan menyebutnya sebagai delik.
23
Hukum pidana yang beraliran anglo saxon (Anglo Amerika) dengan system common law mempergunakan istilah criminal act, offense, commited, atau ada pula yang menyebut criminal conduct. Sekedar pegangan dalam memahami lebih jauh tentang tindak pidana, maka ada beberapa pandangan para pakar hukum pidana, walau pandangan tersebut menggunakan istilah yang berbeda-beda.
Menurut Moeljatno,[1] memakai istilah perbuatan pidana, yaitu perbuatan yang dilarang oleh aturan hukum, larangan mana yang disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut.
Menurut Roeslan Saleh,[2] menggunakan istilah perbuatan pidana yaitu perbuatan yang oleh aturan pidana dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang, dinamakan perbuatan pidana, juga disebut orang dengan delik.
Menurut Van Bemmelen,[3] juga memakai istilah perbuatan pidana dengan penjelasan sebagai berikut :
Perbuatan pidana adalah suatu perbuatan tertentu, yang dilarang dan diancam dengan pidana, tidak hanya membuat suatu petunjuk tingkahlaku yang dilarang (tindak delik yang sebenarnya), akan tetapi sekaligus biasanya juga beberapa keadaan dalam mana tingkahlaku harus dilarang.
Menurut Wirjono Prodjodikoro,[4] menggunakan istilah Tindak Pidana yang diartikan sebagain suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman atau pidana. Pelaku ini dapat dikatakan merupakan subyek Tindak Pidana.
Menurut Vos,[5] memakai istilah peristiwa pidana yang diartikan sebagai peristiwa yang menyatakan dapat dipidana oleh undang-undang, pemakaian peristiwa pidana juga digunakan oleh Simons (Zamhari Abidin) adalah perbuatan salah dan melawan hukum yang diancam dengab pidana yang dilakukan oleh seseorang yang mampu bertanggungjawab.
Menurut Tim Penerjemahan Badan Pembinaan Hukum Nasiona (BPHN) Departemen Kehakiman memberi penjelasan mengiringi diterbitkannya Terjemahan W.v.S (KUHP), dengan mengemukakan delapan langkah kebijakan, tiga diantaranya dikutip sebagai berikut :
a.       Istilah Tindak Pidana telah dipakai sebagai terjemahan dari istilah Strafbaarfeit. Penggunaan istilah tindak pidana dipakai oleh karena jika ditinjau dari segi sosis-yuridis, hampir semua perundang-undangan pidana memakai istilah Tindak Pidana.
b.      Semua instansi penegak hukum dan hampir seluruh penegak hukum mempergunakan istilah tindak pidana.
c.       Meskipun diperlukan istilah tindak pidana, secara teoristis itu tidak berarti tindak pidana (actus reus) harus dibedakan dan dipisahkan dari pertanggungjawaban pidana (mens rea).
Rumusan konsep (rancangan) KUHP baru edisi maret 1993 telah menyeragamkan istilah tindak pidana, sebagaimana dinyatakan dalam pasal 14 konsep rancangan KUHP baru bahwa tindak pidana adalah perbuatan melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang oleh peraturan perundang-undangan dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana.
Rancangan konsep KUHP baru merumuskan 2 (dua) bentuk tindakan yang diklasifikasikan sebagai tindak pidana, yaitu:
a.       Perbuatan aktif (active action) atau tindakan/perbuatan berbuat adalah tindakan konkrit, langsung dan dan bisa diukur. Contoh tindakan menikam dengan pisau ke perut orang lain dan lain-lain.
b.      Perbuatan pasif (passive action) atau perbuatan tidak melakukan, tindakan pasif, ialah tindakan yang tidak langsung, dan tidak melakukan sesuatu pekerjaan apapun tetapi dikategorikan sudah melakukan tindak pidana. Contoh tidak memenuhi panggilan pengadilan sebagai saksi (Pasal 224 KUHP).
Pasal 15 rancangan konsep KUHP baru menerangkan perbuatan dimaksud dalam Pasal 14 konsep KUHP baru, yaitu perbuatan yang dituduh haruslah perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana oleh peraturan perundang-undangan. Perbuatan yang dituduh dapat dipidana, haruslah bertentangn dengan hukum.
Sebetulnya penggunaan istilah stafbaarfeit masih merupakan polemik hukum bagi para pakar hukum pidana. Misalnya Van Hamel (dalam Zainal Abidin) bahwa strafbaarfeit adalah istilah yang kurang tepat, melainkan starfwaardigfeit, atau peristiwa yang bernilai atau patut dipidana. Menurut Van Hamel perbuatan (dader) yang dapat dipidana, dan bukan peristiwa yang dilakukan.
Perbedaan kedua jenis peristilahan itu, menyebabkan muncul pandangan monistis dan dualistik tentang delik. Pandangan monitis memandang tindak pidana adalah satu kesatuan dengan pertanggungjawaban pidana (ajaran kesalahan), jadi bersifat integral. Pandangan dualistik memandang bahwa tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana harus dipandang terpisah tidak bisa disatukan. Perkembangan baru muncul pandangan mono-dualistik (daad-dader strafrecht). Seseorang yang sudah melakukan tindak pidana belum tentu langsung dapat dipidana, melainkan terhadapnya harus dimintakan pertanggungjawabkan pidana untuk menentukan ada tidaknya kesalahan dalam melakukan suatu tindak pidana.[6]
Jenis-Jenis Tindak Pidana yaitu:
a.      Kejahatan dan Pelangaran
Pembagian perbuatan pidana atas kejahatan dan pelanggaran ini disebut oleh undang-undang. KUHP buku ke II memuat delik yang disebut pelanggaran tetapi kritiria apakah yang digunakan untuk membedakan kedua jenis delik itu, namun KUHP tidak menjelaskannya. Ia hanya memasukkan kedalam kelompok pertama kejahatan dan dalam kelompok kedua pelanggaran.
      Ada dua pendapat yang mencoba menemukan perbedaan sekaligus kritiria antara pelanggaran dan kejahatan, yaitu:
Pendapat pertama menyatakan, antara kedua jenis delik ada perbedaan yang bersifat kualitataif. Dengan ukuran ini, didapati 2 jenis delik, yaitu:
1.      Rechtdelicten yaitu perbuatan yang bertentangan dengan keadailan, terlepas apakah perbuatan itu diancam pidana dalam suatu undang-undang atau tidak. Jadi yang benar-benar dirasakan masyarakat sanagat bertentangan dengan keadilan misalnya: pembunuhan, pencurian. Delik-delik semacam ini disebut “kejahatan”.
2.      Westdelicten yaitu perbuatan yang oleh umum baru disadari sebagai tindak pidana karena undang-undang menyebutnya sebagai delik. Jadi karena ada undang-undang, maka mengancamnya dengan pidana. Misalnya : memarkir mobil disebalah kanan jalan. Delik-delik semacam ini disebut “pelanggaran”.
Pendapat kedua mengatakan, bahwa antara kedua jenis delik itu ada perbedaan yang besifat kuantitatif. Pendirian ini hanya meletakkan kriterium pada perbedaan yang dilihat dari segi kriminilogi, dimana “pelanggaran” lebih ringan daripada “kejahatan”.
b.      Delik Formil dan Delik Materiil
1.      Delik formil adalah delik yang perumusannya dititikberatkan kepada perbuatan yang dilarang. Delik tersebut telah selesai dengan dilakukannya perbuatan seperti tercantum dalam rumusan delik.
2.      Delik materiil adalah delik yang perumusannya dititikberatkan kepada akibat yang tidak dikehendaki (dilarang). Delik ini baru selesai apabila akibat yang tidak dikehendaki itu telah terjadi. Kalau belum maka paling banyak hanya ada percobaan.
c.       Delik Commisionis, Delik Ommisionis dan Delik Commisionis Per Ommisionen Commissa.
1.      Delik commisionis adalah delik yang berupa pelanggaran terhadap larangan, yaitu berbuat sesuatu yang dilarang. Pencurian, penggelapan, penipuan.
2.      Delik ommisionis adalah delik yang berupa pelanggaran terhadap perintah, yaitu tidak melakukan sesuatu yang diperintahkan/yang diharuskan, misalnya : tidak menghadap sebagai saksi dimuka pengadilan (Pasal 522 KUHP),
3.      Delik commisionis per ommisionen commissa adalah delik yang berupa pelanggaran larangan (dus delik commisionis), akan tetapi dapat dilakukan dengan cara tidak berbuat. Misalnya : seorang ibu yang membunuh anaknya dengan tidak memberi air susu (Pasal 338, 340 KUHP).
d.      Delik Dolus dan Delik Culpa
1.      Delik dolus adalah delik yang memuat unsur kesenganjaan, misalnya: barangsiapa dengan sengaja menimbulkan kebakaran, ledakan atau banjir (Pasal 187 KUHP), pemalsuan uang dan uang kertas (Pasal 245 KUHP), pemalsuan surat (Pasal 263 KUHP), penghinaan (Pasal 310 KUHP), dengan sengaja merampas nyawa orang lain atau pembunuhan (Pasal 338 KUHP).
2.      Delik culpa adalah delik yang memuat kealpaan sebagai salah satu unsur misalnya: kejahatan yang membahayakan keamanan umum bagi orang atau barang (Pasal 197 KUHP), menyebabkan gedung atau bangunan dihancurkan atau dirusak (Pasal 201 KUHP),  231, menyebabkan matinya orang karena kealpaan (Pasal  359 KUHP), menyebabkan orang lain mendapat luka-luka berat karena kealpaan (Pasal 360 KUHP).
e.       Delik Tunggal dan Delik Berangkai
1.      Delik tunggal adalah delik yang cukup dilakukan dengan perbuatan satu kali.
2.      Delik berangkai adalah delik yang baru merupakan delik, apabila dilakukan beberapa kali perbuatan, misalnya : Pasal 481 (Penadahan Sebagai Kebiasaan).
f.       Delik Yang Berlangsung Terus Dan Delik Selesai
1.      Delik yang berlangsung terus adalah delik yang mempunyai ciri bahwa keadaan terlarang itu berlangsung terus, misalnya: merampas kemerdekaan seseorang (Pasal 333 KUHP)
2.      Delik selesai adalah delik dengan tidak lebih dari suatu perbuatan yang mencakup malakukan, melainkan atau menimbulakan akibat tertentu seperti menghasut, membunuh, membakar dan sebagainya.
g.      Delik Aduan Dan Delik Laporan
1.      Delik aduan adalah delik yang penuntutannya hanya dilakukan apabila ada pengaduan dari pihak yang terkena galaedeerde partij missal: penghinaan (Pasal 310 dst. Jo Pasal 319 KUHP), perzinaan (Pasal 284 KUHP). Delik aduan dibedakan menurut sifatnya, sebagai:
a.       Delik aduan absolut, misalnya Pasal 284, 310, 332 KUHP. Delik-delik ini menurut sifatnya hanya dapat dituntun berdasarkan pengaduan.
b.      Delik aduan relative, misalnya Pasal 367 KUHP, disebut relative karena dalam delik-delik ini ada hubungan istimewa antara si pembuat dan orang yang terkena.
Catatan: Perlu dibedakan antara aduan, gugatan dan laporan. Gugatan dipakai dalam acara perdata, misalnya A menggugat B di muka pengadilan karena B tidak membayar hutangnya kepada A. laporan hanya pemberitahuaan belaka tentang adanya sesuatu tindak pidana kepada polisi atau atau jaksa.
h.      Delik Sederhana Dan Delik Yang Ada Pemberatannya/ Peringanannya.
Delik yang ada pemberatannya, misalnya: penganiayaan yang menyebabkan luka berat atau matinya orang (Pasal 351 Ayat 2, 3 KUHP). Delik yang ancaman pidananya diperingan karena dilakukan dalam keadaan tertentu, misalnya: Pembunuhan terhadap anak-anak (Pasal 341 KUHP). Delik ini disebut “geprivelegegeerd delict”. Delik sederhana: Misalnya: penganiayaan (Pasal 351 KUHP), pencurian (Pasal 362 KUHP).
Unsur-unsur tindak pidana dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu :
a.       Unsur obyektif adalah Perbuatan orang, akibat yang kelihatan dari perbuatan itu atau mungkin keadaan tertentu yang menyertai perbuatan.
b.      Unsur sobyektif adalah Orang yang mampu bertanggungjawab adanya kesalahan.[7]
2.      Pengertian Tindak Pidana Penganiayaan
Secara umum, tindak pidana terhadap tubuh pada KUHP disebut “penganiayaan”. Dibentuknya pengaturan tentang kejahatan terhadap tubuh manusia  ini dutujukan bagi perlindungan kepentingan hukum atas tubuh dari perbuatan-perbuatan berupa penyerangan  atas tubuh atau bagian dari tubuh yang mengakibatkan rasa sakit atau luka, bahkan karena luka yang sedemikian rupa pada tubuh dapat menimbulkan kematian.
Penganiayaan dalam kamus besar bahasa Indonesia dimuat arti sebagai berikut “perilaku yang sewenang-wenang”. Pengertian tersebut adanya pengertian dalam arti luas, yakni termasuk yang menyangkut “perasaan” atau “batiniah”.
Menurut yurisprudensi, maka yang diartikan dengan penganiayaan yaitu sengaja menyebabkan perasaan tidak enak, rasa sakit atau luka. Masuk pula dalam pengertian penganiayaan ialah “sengaja merusak kesehatan orang”. “perasaan tidak enak” misalnya mendorong orang terjun ke kali sehingga basah kuyup. “rasa sakit” misalnya menyubit, mendupak, memukul. “luka” misalnya mengiris, memotong, menusuk dengan pisau. “merusak kesehatan” misalnya orang sedang tidur dan berkeringat dibuka jendela kamarnya sehingga orang itu pasti masuk angin.
B.     Jenis Tindak Pidana Penganiayaan Dalam KUHP
1.      Tindak Pidana Penganiayaan Biasa
Penganiayaan biasa yang dapat juga disebut dengan penganiayaan pokok atau bentuk standar terhadap ketentuan Pasal 351 yaitu pada hakikatnya semua penganiayaan yang bukan penganiayaan berat dan bukan penganiayaan ringan.
Mengamati Pasal 351 KUHP maka ada 4 (empat) jenis penganiayaan biasa, yakni:
a)      Penganiayaan biasa yang tidak dapat menimbulkan luka berat maupun kematian dan dihukum dengan dengan hukuman penjara selama-lamanya dua tahun delapan bulan atau denda sebayak-banyaknya tiga ratus rupiah. (ayat 1)
b)      Penganiayaan yang mengakibatkan luka berat dan dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya 5 tahun (ayat 2)
c)      Penganiayaan yang mengakibatkan kematian dan dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya 7 tahun (ayat 3)
d)     Penganiayaan berupa sengaja merusak kesehatan (ayat 4)
Unsur-unsur penganiayaan biasa, yakni:
a)      Adanya kesengajaan
b)      Adanya perbuatan
c)      Adanya akibat perbuatan (yang dituju), rasa sakit pada tubuh, dan atau luka pada tubuh.
d)     Akibat yang menjadi tujuan satu-satunya
2.      Tindak Pidana Penganiayaan Ringan
Hal ini diatur dalam Pasal 352 KUHP. Menurut Pasal ini, penganiayaan ringan ini ada dan diancam dengan maksimum hukuman penjara tiga bulan atau denda tiga ratus rupiah apabila tidak masuk dalam rumusan Pasal 353 dan 356, dan tidak menyebabkan sakit atau halangan untuk menjalankan jabatan atau pekerjaan. Hukuman ini bias ditambah dengan sepertiga bagi orang yang melakukan penganiayaan ringan ini terhadap orang yang bekerja padanya atau yang ada dibawah perintah.
Penganiayaan tersebut dalam Pasal 352 (1) KUHP yaitu suatu penganiayaan yang tidak menjadikan sakit atau menjadikan terhalang untuk melakukan jabatan atau pekerjaan sehari-hari.
Unsur-unsur penganiayaan ringan, yakni:
a)      Bukan berupa penganiayaan biasa
b)      Bukan penganiayaan yang dilakukan
1.      Terhadap bapak atau ibu yang sah, istri atau anaknya
2.      Terhadap pegawai negri yang sedang dan atau karena menjalankan tugasanya yang sah
3.      Dengan memasukkan bahan berbahaya bagi nyawa atau kesehatan untuk dimakan atau diminum
c)      Tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan dan pencaharian

3.      Tindak Pidana Penganiayaan Berencana
Menurut Mr.M.H Tirtaadmidjaja,[8] mengutarakan arti direncanakan lebih dahulu yaitu bahwa ada suatu jangka waktu betapapun pendeknya untuk mempertimbangkan dan memikirkan dengan tenang”.
Untuk perencanaan ini, tidak perlu ada tenggang waktu lama antara waktu merencanakan dan waktu melakukan perbuatan penganiayaan berat atau pembunuhan. Sebaliknya meskipun ada tenggang waktu itu yang tidak begitu pendek, belum tentu dapat dikatakan ada rencana lebih dahulu secara tenang. Ini semua bergantung kepada keadaan konkrit dari setiap peristiwa.
Menurut Pasal 353 KUHP ada 3 macam penganiayanan berencana , yaitu:
a)      Penganiayaan berencana yang tidak berakibat luka berat atau kematian dan dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya 4 (empat) tahun.
b)      Penganiayaan berencana yang berakibat luka berat dan dihukum denhan hukuman selama-lamanya 7 (tujuh) tahun.
c)      Penganiayaan berencana yang berakibat kematian  dan dihukum dengan hukuman selama-lamanya 9 (Sembilan) tahun.
Unsur penganiayaan berencana adalah direncanakan terlebih dahulu sebelum perbuatan dilakukan. Penganiayaan dapat dikualifikasikan menjadi penganiayaan berencana jika memenuhi syarat-syarat:
a)      Pengambilan keputusan untuk berbuat suatu kehendak dilakukan dalam suasana batin yang tenang.
b)      Sejak timbulnya kehendak/pengambilan keputusan untuk berbuat sampai dengan pelaksanaan perbuatan ada tenggang waktu yang cukup sehingga dapat digunakan olehnya untuk berpikir, antara lain:
1.      Resiko apa yang akan ditanggung.
2.      Bagaimana cara dan dengan alat apa serta bila mana saat yang tepat untuk melaksanakannya.
3.      Bagaimana cara menghilangkan jejak.
c)      Dalam melaksanakan perbuatan yang telah diputuskan dilakukan dengan suasana hati yang tenang.
4.      Tindak Pidana Penganiayaan Berat
Tindak pidana ini diatur dalam Pasal 354 KUHP. Perbuatan berat atau dapat disebut juga menjadikan berat pada tubuh orang lain. Haruslah dilakukan dengan sengaja oleh orang yang menganiayanya.
Unsur-unsur penganiayaan berat, antara lain: Kesalahan (kesengajaan), Perbuatannya (melukai secara berat), Obyeknya (tubuh orang lain), Akibatnya (luka berat)
Apabila dihubungkan dengan unsur kesengajaan maka kesengajaan ini harus sekaligus ditujukan baik terhadap perbuatannya, (misalnya menusuk dengan pisau), maupun terhadap akibatnya yakni luka berat.
Istilah luka berat menurut Pasal 90 KUHP berarti sebagai berikut:
a)      Penyakit atau luka yang tidak dapat diharapkan akan sembuh dengan sempurna atau yang menimbulkan bahaya maut.
b)      Menjadi senantiasa tidak cakap mengerjakan pekerjaan jabatan atau pencaharian.
c)      Kehilangan kemampuan memakai salah satu dari panca indra.
d)     Kekudung-kudungan
e)      Gangguan daya pikir selama lebih dari empat minggu.
f)       Pengguguran kehamilan atau kematian anak yang masih ada dalam kandungan.
Penganiayaan berat ada 2 (dua) bentuk, yaitu:
a)      Penganiayaan berat biasa (ayat 1)
b)      Penganiayaan berat yang menimbulkan kematian (ayat 2)
5.      Tindak Pidana Penganiayaan Berat Berencana
Tindak Pidana ini diatur oleh Pasal 355 KUHP. Kejahatan ini merupakan gabungan antara penganiayaan berat (Pasal 353 ayat 1) dan penganiayaan berencana (Pasal 353 ayat 2). Kedua bentuk penganiayaan ini harus terjadi secara serentak/bersama. Oleh karena itu harus terpenuhi unsur penganiayaan berat maupun unsur penganiayaan berencana. Kematian dalam penganiayaan berat berat berencana bukanlah menjadi tujuan. Dalam hal akibat, kesenganjaannya ditujukan pada akibat luka beratnya saja dan tidak pada kematian korban. Sebab, jika kesenganjaan terhadap matinya korban, maka disebut pembunuhan berencana. [9]




[1]Basir Rohrohmana, Tindak Pidana, Unsur Tindak Pidana, Pidana dan Pemidanaan, Fakutas Hukum Universitas Cenderawasih, Jayapura, 2001, h.10
[2]Ibid
[3]Ibid
[4]Ibid, hal. 11
[5]Ibid
[6]Ibid, h, 11-12
[7]Ismu Gunadi, Jonaedi Efendi dan Fifit Fitri Lutfianingsih, Cepat & Mudah Memahami Hukum Pidana (Jilid 1), Jakarta, 2011, hal. 50-54.
[8]Ismu Gunadi, Jonaedi Efendi dan Fifit Fitri Lutfianingsih, Cepat & Mudah Memahami Hukum Pidana (Jilid 2), Jakarta, 2011, hal. 6
[9]Ibid, hal. 6-8